Oleh
Iman Surya Pratama
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi UGM
Hewan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, tak terkecuali dalam pengobatan. Pengobat tradisional pada masyarakat Sasak di Lombok Barat atau belian daraq telah menggunakan tanduk kerbau dalam praktek bekam atau dikenal dengan istilah betanggeq [1]. Tokek telah digunakan untuk mengobati selamaq atau skabies oleh belian di Limbungan, Kabupaten Lombok Timur [2]. Kedua contoh ini diilustrasikan pada Gambar 1. Obat dapat ditemukan melalui penggunaan produk hewan atau pendekatan zooterapi.
Gambar 1. Kiri ke kanan : tanduk kerbau pada proses betanggeq [1] dan tokek rumah atau Gekko gecko [3]
Obat dari bahan hewan dapat ditemukan dengan cara lain yakni melalui pengamatan interaksi antara hewan dengan lingkungan atau pendekatan zoofarmakognosi [4]. Kucing dapat berguling-guling ketika mengendus-endus tanaman Kucingan atau Nepeta cataria yang mengandung nepetalakton (Gambar 2). Senyawa nepetalakton merangsang sistem saraf menyebabkan kucing menjadi lebih aktif. Lebih lanjut lagi, secara ilmiah tanaman ini ditemukan memiliki beberapa efek seperti antiinfeksi, antikanker dan pengusir nyamuk [5].
Gambar 2. Kucingan atau Nepeta cataria dan nepetalakton (Dimodifikasi dan dialihbahasakan dari [6])
Dalam artikel ini akan dijelaskan mengenai swamedikasi pada primata hutan khususnya orang utan dalam rangka penemuan obat. Orang utan dipilih karena kedekatannya dengan manusia karena termasuk dalam ordo Primata. Selain itu, studi yang dilakukan di Indonesia menggunakan orang utan. Tulisan disajikan dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih memudahkan pembaca dalam memahami isi artikel.
Apa yang dimaksud dengan swamedikasi pada hewan ?
Swamedikasi atau pengobatan mandiri pada hewan adalah strategi hewan dengan menunjukkan perilaku menghindari dan menekan penyebaran, serta mengendalikan penyakit serta gejalanya. Tindakan ini dilakukan baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan meningkatkan kebugaran dan kesehatan hewan itu sendiri [7]. Suatu tindakan disebut perilaku swamedikasi apabila tindakan dilakukan sesekali, pada periode terjadinya penyakit, tidak memberikan nilai nutrisi / berbeda dengan pakan, tidak dilakukan oleh hewan sehat, kondisi hewan menjadi lebih baik setelah tindakan, dan berdasarkan bukti ilmiah [8,9].
Bagaimana bentuk swamedikasi yang dilakukan oleh hewan?
Swamedikasi yang dilakukan oleh hewan memiliki lima bentuk. Pertama, hewan menunjukkan perilaku sakit seperti : demam, lelah, lesu, susah makan, berkurangnya perilaku selisik atau mengambil kotoran dari permukaan bulu, dan sering berjemur. Kedua, hewan menghindari kemungkinan tertular penyakit. Hewan tidak mau mengonsumsi pakan atau minum dari sumber air yang sudah tercemar bibit penyakit. Ketiga, hewan akan memilih pakan yang bersifat mencegah penyakit atau menjaga kesehatan. Keempat, hewan akan mengonsumsi bahan yang mengandung senyawa obat. Senyawa ini biasanya sedikit atau bahkan tidak mengandung nilai gizi, umumnya beracun namun pada dosis kecil bermanfaat sebagai obat. Kelima, menggunakan bahan untuk membunuh atau mengendalikan penyebab penyakit melalui penggunaan luar [7].
Bagaimana gambaran swamedikasi pada hewan ?
Penelitian yang dilakukan di kawasan hutan gunung Beratus, Kalimantan Barat menunjukkan terdapat 14 jenis tumbuhan yang menjadi pakan orang utan. Daun dan pucuk pohon merupakan bagian yang paling sering dimakan. Daun dari kayu salai (Glochidion sericeum), pohon loba (Symplocos fasciculata), kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), kayu arang (Diospyros sumatrana), Syzygium sp., Pothos sp., kayu rusa (Gironniera nervosa), Ficus sp., and Alpinia sp. banyak mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan steroid-triterpenoid. Suku Dayak Benuaq yang tinggal di sekitar pegunungan memanfaatkan tanaman salahsatunya daun Alpinia glabra sebagai obat mata untuk bayi. Tumbuhan obat ini berpotensi dalam mengatasi keluhan rehabilitasi pada orang hutan juga perlu ditelaah untuk mengatasi penyakit pada manusia seperti hepatitis, tuberkulosis, influenza dan diare Beberapa tumbuhan pakan orang utan diilustrasikan dalam Gambar 3. [10]
Gambar 3. Alpinia sp., Photos sp. dan Xantophylum neglectum (A, B, dan C) [10]
Studi pada Orang utan Sumatra (Pongo abelii) di hutan Bukit Lawang, Gunung Leuser, Aceh menunjukkan orang utan mengonsumsi buah yang berasal dari 126 tanaman. Dari 9 buah yang dianalisa (Gambar 4) , Pucang kalak (Polyalthia lateriflora) memiliki kadar air yang tinggi, kemudian karbohidrat, protein, abu dan lemak. Buah buahan ini memiliki kecukupan nutrisi yang mampu menjaga kesehatan dan .menunjang aktivitas harian orang utan [11]
Gambar 3. Buah yang dikonsumsi orang utan Sumatra. Dari poin a-i: Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Baros (Garcinia celebica), Ara (Ficus fistulosa), Poh-pohan (Buchanania arborescens), Cempaka hutan (Gardenia tubifera), Girang merah (Leea indica), Garcinia macrocarpa, Diospyros trunctata dan Pucang kalak (Polyalthia lateriflora) [11]
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa daun suji hutan (Dracaena cantleyi L.) telah digunakan sebagai obat gosok untuk meredakan pegal pada orang utan sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4. Hasil pengamatan menunjukkan daun ini digunakan oleh orang utan dewasa. Hal ini diduga untuk meredakan nyeri otot dan sendi akibat membawa bayi orang utan melalui kanopi hutan Kalimantan. Nyeri kronis masuk akal terjadi karena waktu asuh anak orang utan yang cukup lama sekitar 8-9 tahun. Daun suji hutan akan dikunyah hingga berbusa lalu digosokkan ke bagian tubuh, sementara ampasnya dibuang. Kandungan saponin telah diuji mampu menghambat produksi zat-zat peradangan seperti TNF alfa, ICAM-1 dan VCAM-1. Hal yang menarik, masyarakat lokal di Kalimantan telah menggunakan daun suji hutan untuk mengobati keluhan nyeri lengan pada kondisi stroke, nyeri otot, bengkak dan nyeri tulang [12]
Gambar 4. Suji hutan (Dracaena cantleyi L.) dan orang utan (Pongo pygmaeus) [7]
Apa saja yang dapat kita peroleh dengan mempelajari swamedikasi pada hewan ?
Setelah mempelajari swamedikasi pada hewan, kita dapat menjawab beberapa pertanyaan pada Tabel 1 [7]. Hal ini dapat diilustrasikan melalui penelitian Huffman mengenai penggunaan daun Afrika (Vernonia amygdalina) pada simpanse yang sakit.
Tabel 1. Swamedikasi pada Simpanse [8 & 13]
Swamedikasi pada hewan telah mengajarkan pada kita bagaimana hewan belajar untuk menangani penyakit yang diperoleh meliputi kriteria, jenis perilaku disertai berbagai ilustrasi pada primata khususnya orang utan. Hal ini memberikan sudut pandang yang berharga dalam kaitan perubahan pemilihan tumbuhan perilaku swamedikasi dan tradisi pengobatan. Swamedikasi pada hewan juga mendorong kita untuk lebih kreatif dan bekerjasama dalam eksplorasi langkah penemuan obat berbasis lingkungan guna peningkatan derajat kesehatan.
Daftar Pustaka :
[1] McCintyre, K. 1996. Betanggeq : Arabic influence in Western Lombok Folk Medicine. Anthropology from the shed. Diakses dari https://www.anthropologyfromtheshed.com/betanggeq-arabic-influence-in-western-lombok-folk-medicine pada 27 September 2023
[2] Marjuliana, R., Sukenti, K., dan Pratama, I. 2019. Studi Etnofarmakologi Antiparasit Masyarakat Komunitas Adat Dusun Limbungan di Lombok Timur. Skripsi. Universitas Mataram
[3] Dominguez-Martin, E. M., Tavares, J., Rijo, P., Diaz-Lansa, A. M., 2020. Zoopharmacology: A Way to Discover New Cancer Treatments. Biomolecules.(10) 817 : 1-20
[4] Herp Mapper, 2019. Tokay gecko gecko HM 308980. Diakses dari https://www.herpmapper.org/record/308980 pada 27 September 2023
[5] Acimovic, M., Zeremski, T., Kiprovski, B., Brdar-Jokanovic, M., Popovic, V., Koren, A., Adam Sikora, V. 2021. Nepeta cataria: Cultivation, Chemical Composition and Biological Activity. Journal of Agronomy, Technology and Engineering Management. 4(4) : 621-634
[6] Uenoyama, R., Miyazaki, T., Adachi, M., Nishikawa, T., Hurst, L. J. dan Miyazaki, M. 2022. Domestic cat damage to plant leaves containing iridoids enhances chemical repellency to pests. iScience 25(7) : 1-16
[7] Huffman, M. A., “The Evolution of Self-Medication in Primates”, diunggah oleh Association of Indian Primatologists, 13 Agustus 2020, https://www.youtube.com/live/8p5NyiQgBNY?si=s3kCHkOp8CyLzob6
[8] Huffman, M. A., 2019. Self-Medication: Passive-Prevention and Active Treatment In: Choe, J.C., 2019. Encyclopedia of Animal Behavior 2nd edn. London: Academic Press. p. 696
[9] De la Fuente, M. F., Souto, A., Albuquruqe, U. P, dan Schiel, N. 2022. Self-medication in nonhuman primates: A systematic evaluation of the possible function of the use of medicinal plants. American Journal of Primatology 2022 p. 1-168
[10] Ma’ruf, A., Noorhidayah, Atmoko, T., 2011. Medicinal Properties of Bornean Orangutan Food Plants in Gunung Beratus Protected Forest, East Kalimantan, Indonesia International Conference of Indonesian Forestry Researchers 69–81.
[11] Onrizal, A. dan Auliah, N. L., 2023. The nutritional content of some fruits as feeding source of Sumatrans orangutans, IOP Conference Series: Earth and Environmental Sciences 374 (2023): 1-8
[12] Morrogh-Bernard, H.C., Foitova, I., Yeen, Z., Wilkin, P., de Martin, R., Rarova, L., Dolezal, K., Nurcahyo, W., dan Olsansky, M. 2017. Self-medication by orang-utans (Pongo pygmaeus) using bioactive properties of Dracaena cantleyi. Nature Scientific Reports., 7: 16653 p. 1-7
[13] Huffman, M. A. 2005. Forest Pharmacy In: Huffman, M. A. 2005. (Ed.) A Study of Primate Self Medication. CHMIPP., p. 401-405